My Day

Thursday, March 01, 2007







Bunuh Diri Mengintai Penderita Depresi

Persoalan bunuh diri kini telah beralih menjadi masalah kesehatan jiwa, bukan hanya masalah sosial semata. Persoalannya sepele. Hanya karena ‘anu’-nya kecil, seorang pelajar sekolah menengah berumur 18 tahun menghabisi nyawanya sendiri dengan cara terjun bebas dari atas sebuah gedung. Usut punya usut, si pelajar berani melakukan perbuatan nekat itu karena merasa malu dengan ukuran penisnya yang kecil. Dari perasaan malu, episode pelajar itu berlanjut menjadi stress dan depresi. Kemudian, jalan pintas pun diambilnya. Yakni bunuh diri. Dan kisah ini benar-bener terjadi. Tetapi bukan di sini, melainkan di Singapura awal Maret 2006. Jalan serupa juga ditempuh Sioling, seorang pedagang mi kering asal Semarang Timur, Jawa Tengah. Putus asa dan depresi panjang karena penyakit tekanan darah tinggi yang menderanya tak kunjung sembuh, Sioling memutuskan menggantung diri, Senin, 11 September 2006.

Kejadian yang menimpa seorang pelajar Singapura dan Sioling adalah sekelumit contoh bahwa depresi yang berujung pada bunuh diri banyak terjadi. Tidak hanya di Indonesia atau Singapura, juga di seluruh dunia. Bahkan, negara-negara maju, seperti Amerika Serikat, kejadian bunuh diri akibat depresi menempati peringkat ke-11 penyebab kematian penduduk.
Organisasi kesehatan dunia WHO mencatat, setiap tahunnya angka kematian akibat bunuh diri mencapai satu juta jiwa. Dari jumlah itu, lebih dari 50 persennya disebabkan oleh gangguan jiwa dan penyalahgunaan obat atau alkohol. Sedangkan sisanya karena tekanan ekonomi dan perubahan sosial yang cepat.

Sementara sebagai pemicu bunuh diri, angka penderita depresi tak kalah banyak. WHO memperkirakan sekitar 121 juta orang saat ini menderita depresi. Sebanyak 5,8 persennya adalah pria dan 9,5 persen adalah wanita dunia yang mengalami episode depresif dalam hidup mereka. Diperkirakan pada 2020 depresi akan menempati peringkat kedua penyakit yang mematikan setelah jantung karena biasanya depresi berujung pada bunuh diri.

Pada akhirnya, bunuh diri pun bukan hanya masalah sosial semata. Persoalannya kini telah beralih menjadi masalah kesehatan jiwa. Selain depresi, masalah kesehatan jiwa lainnya yang berpotensi memicu bunuh diri adalah gangguan kepribadian, skizofrenia, gangguan stress pasca trauma dan beban hidup berat berkepanjangan.

Banyaknya angka kejadian depresi yang berujung pada bunuh diri diamini oleh Direktur Bina Pelayanan Kesehatan Jiwa Direktorat Jenderal Bina Pelayanan Medik Departemen Kesehatan, Dr. G. Pandu Setiawan, SpKJ. Menurut dokter kelahiran Yogyakarta, 28 Desember 1946 ini, ”Penyakit jiwa, seperti depresi, merupakan pemicu risiko terbesar bunuh diri."

Pandu mengumpamakan penyakit jiwa sebagai faktor yang terpenting terjadinya bunuh diri. Mirisnya, kata Pandu, sekitar 90 persen orang yang melakukan tindakan bunuh diri terjadi karena penyakit jiwa yang tidak terdiagnosis dan diobati. ”Angka itu merupakan ramalan organisasi kesehatan dunia,” katanya.

Ironisnya lagi, tutur Ketua Jejak (Jejaring Komunikasi Kesehatan Jiwa ) ini, risiko bunuh diri pada penderita gangguan kejiwaan ternyata sepuluh kali lebih besar dibandingkan orang normal. Senada dengan Pandu, Dr. Suryo Dharmono, SpKJ, staf bagian psikiatri FKUI-RSCM mengungkapkan, bunuh diri kini menjadi primadona karena kasusnya yang terus meningkat akhir-akhir ini, tidak hanya di Indonessia, melainkan juga di seluruh dunia.

Dokter kelahiran Magelang, 46 tahun lalu ini mencatat 90 persen peristiwa bunuh diri disebabkan masalah kesehatan mental, terutama depresi. Lebih lanjut Suryo mengutarakan, depresi merupakan kondisi medis yang disebabkan oleh adanya disregulasi neurotransmitter (zat penghantar dalam sistem saraf), terutama serotonin (neurotransmitter yang mengatur perasaan) dan norepinefrin (neurotransmitter yang mengatur energi dan minat). Spektrum depresi sangat luas dengan keluhan penyakit dan manifestasi klinik yang bermacam-macam sehingga pengelolanya mesti dilakukan secara menyeluruh.

Anggota Pengurus Pusat Perhimpunan Doskter Spesialis Kesehatan Jiwa Indonesia (PDSKJI) ini menjelaskan bunuh diri dalam skala global mempresentasikan problem kesehatan masyarakat yang luas dan kompleks. Ketika seseorang memutuskan bunuh diri sebagai jalan pintas penyelesaian masalah dengan berbagai cara, biasanya dipicu berbagai faktor, seperti kejiwaan, sosial, budaya, dan faktor keturunan. "Umumnya seseorang mengalami depresi lalu bunuh diri," ujar Suryo.

Karena itu, pengobatan depresi berperan menurunkan angka terjadinya bunuh diri. Depresi dapat dicegah atau diatasi. Caranya, mengawasi gejala-gejala tersebut dengan meningkatkan keimanan seseorang, meningkatkan mentalitas, serta membuat hidupnya bertujuan, bermakna, dan punya harapan. Suryo juga menyarankan memperhatikan pemberian obat antidepresan yang dipercaya dapat bermanfaat sebagai pemulihan, pencegah kambuhnya depresi, dan kasus berulang. Ismayanti

Apa Itu Serotonin?

Serotonin adalah 'neurotransmitter'. Itu artinya, serotonin berpindah dari neuron yang satu ke neuron yang lain di dalam otak sambil membawa pesan-pesan kimia.

Selain sebagai pembawa pesan kimia, serotonin diyakini juga memberikan rasa senang, dan membantu mengontrol mood dengan memberikan efek tidur, ketenangan dalam pikiran dan melepas depresi. Beberapa obat anti depresi, bekerja dengan membuat serotonin tetap berada dalam proses penyampaian pesan kimia sebelum pesan kimia itu di serap oleh neuron, sehingga memberikan efek ketenangan.

Beberapa riset telah menghubungkan rendahnya level serotonin dengan depresi sedang seperti, ketakutan, ansietas, apatis, insomnia, lelah yang lalu dapat menjadi keinginan bunuh diri.
Belakangan ini banyak beredar obat anti depresan dengan fokus kerja pada serotonin. Salah satunya adalah antidepresan Serotonin Norepinefrin Reuptaker Inhibitor (SNRI).
Pada akhirnya, dengan mengobati depresi dengan anti depresan yang sesuai tentu saja akan mengurangi angka kejadian bunuh diri.






0 Comments:

Post a Comment

<< Home