My Day

Thursday, June 22, 2006

Kota Tua Jakarta


Menyusuri Kembali Jejak Jakarta

Sisa-sisa perjalanan sang waktu banyak meninggalkan kenangan dan kawasan historis di daerah yang dulunya bernama Batavia ini. Sejarah Jakarta yang panjang, akankah tinggal menjadi rekaman masa lalu ?

Terik matahari, menerpa Pelabuhan Sunda Kelapa, Selasa, awal Mei lalu. Sementara kapal perahu bermotor jenis phinisi atau Bugis Schooner hilir mudik. Ada yang bersandar. Ada pula yang mengangkat sauh untuk kembali berlayar mengarungi samudra luas.

Di pinggir dermaga, sebuah kapal membongkar muatan. Isinya, kayu gelondongan. Dengan sigap, buruh pelabuhan mengeluarkan muatan tersebut satu persatu. Tanpa bantuan secuil alat. Mereka hanya mengandalkan kekuatan tubuhnya.

Sepelemparan batu dari kapal itu, sebuah kapal lain yang sedang bersandar dipenuhi bocah-bocah yang bertelanjang dada. Mereka, dengan asyiknya melompat dari buritan kapal itu. Mengambil ancang-ancang untuk berenang di air laut yang warnanya menghitam. Mereka tidak peduli dengan bahaya yang setiap saat saat mengancam dari kapal yang membuaang atau mengangkat sauh. Yang ada dibenak bocah-bocah itu adalah keriangan semata.

Hiruk-pikuk kapal, buruh pelabuhan yang membongkar muatan, bocah-bocah yang berenang adalah sekelumit kisah dari keseharian wajah Pelabuhan Sunda Kelapa. Dari pelabuhan ini pula lah, sejarah panjang Jakarta terbentuk. Ia menjadi saksi bisu bagaimana Jakarta berkembang dari sebuah pelabuhan kecil menjadi kota yang gemerlap dengan segala aksesoris dan atributnya.

Pelabuhan Sunda Kelapa Riwayatmu Dulu

Pelabuhan yang menjadi cikal bakal Jakarta ini, sekarang merupakan pelabuhan bongkar muat barang, utamanya kayu dari Pulau Kalimantan. Meski begitu, barang lain, semisal semen dasn kebutuhan pokok juga ada yang dibongkar.

Di sepanjang pelabuhan berjajar kapal-kapal phinisi dengan bentuk khas, meruncing pada salah satu ujungnya dan berwarna-warni pada badan kapal. Tak hanya kesibukan bongkar muat yang tampak, sejumlah pengojek perahu juga turut meramaikan denyut nadi kehidupan Pelabuhan Sunda Kelapa.

Pelabuhan Sunda Kelapa sebetulnya telah terdengar sejak abad ke-12. Kala itu pelabuhan ini sudah dikenal sebagai pelabuhan lada yang sibuk milik kerajaan Hindu terakhir di Jawa Barat, Pajajaran. Kapal-kapal asing yang berasal dari Cina, Jepang, India Selatan, dan Arab sudah berlabuh di pelabuhan ini membawa barang-barang seperti porselen, kopi, sutra, kain wangi-wangian, kuda, anggur, dan zat warna untuk ditukar dengan rempah-rempah yang menjadi kekayaan tanah air saat itu.

Bangsa Eropa pertama asal Portugis tiba pertama kali di Sunda Kelapa tahun 1512 untuk mencari peluang perdagangan rempah-rempah dengan dunia barat. Setelah Portugis hengkang, para pedagang asal Belanda tiba tahun 1596 dengan tujuan yang sama, mencari rempah-rempah.

Menara Syahbandar dan Bengkel Kapal VOC

Sekitar 200 meter ke arah selatan Pelabuhan Sunda Kelapa, pada tahun 1839 di lokasi ini didirikan Menara Syahbandar yang berfungsi sebagai kantor pabean, atau pengumpulan pajak dari barang-barang yang diturunkan di pelabuhan. Lokasi menara ini menempati salah satu bastion (sudut benteng) yang tersisa. Sekitar 50 meter ke arah barat menara terdapat Museum Bahari. Museum ini berisi peralatan asli, replika, gambar-gambar dan foto-foto yang berhubungan dengan dunia bahari di Indonesia, mulai dari zaman kerajaan hingga ekspedisi modern. Museum ini sebetulnya menempati bangunan gudang tempat menyimpan barang-barang dagang VOC di abad 17 dan 18, dan tetap dipertahankan kondisi aslinya untuk kegiatan pariwisata. Pada sisi utara museum masih terdapat benteng asli yang menjadi benteng bagian utara.

Masih di sekitar Kota Tua Jakarta, memasuki Jalan Tongkol di selatan museum, terdapat bekas bengkel kapal VOC atau dikenal juga dengan VOC Shipyard. Di sini, pada masa lalu, kapal-kapal yang rusak diperbaiki. Saat ini, bangunan memanjang dengan jendela-jendela segi tiga di atapnya tersebut direvitalisasi sebagai restoran dengan tetap mempertahankan arsitektur aslinya. Bengkel kapal VOC yang disulap jdi restoran ini menyediakan berbagai macam masakan, baik masakan oriental, Indonesia maupun Eropa.

Amsterdam Timur

Selain bekas bengkel kapal VOC, lokasi bersejarah lainnya di sekitaran Kota Tua adalah kawasan Taman Fatahillah. Taman Fatahillah merupakan lapangan terbuka berbentuk persegi empat dengan bangunan-bangunan bersejarah di semua sisinya. Di sisi barat terdapat beberapa bangunan unik, salah satunya Museum Wayang (1912) yang di dalamnya dipamerkan koleksi wayang dari seluruh Indonesia dan beberapa negara di dunia. Museum ini dibangun di atas lahan gereja yang didirikan tahun 1640, namun roboh akibat gempa bumi.

Di sisi utara terdapat sebuah restoran yang menempati bangunan dari awal tahun 1800-an. Di sampingnya, bangunan bergaya art deco yang berfungsi sebagai kantor pos. Di sisi timur berdiri bangunan bergaya Indische Empire Stiijl, bekas gedung pengadilan yang kini berfungsi sebagai Museum Seni Rupa. Di dalamnya dipamerkan koleksi keramik, lukisan, dan gambar-gambar yang menjelaskan perkembangan seni rupa Indonesia.

Di sisi selatan berdiri megah bangunan Museum Sejarah Jakarta. Bangunan unik yang terdiri dari dua lantai ini memamerkan barang-barang asli, replika, gambar-gambar dan foto-foto yang menunjukkan perkembangan sejarah Jakarta dari masa prasejarah hingga kini. Sebetulnya masih ada basemen, yang digunakan sebagai ruang tahanan semasa pemerintahan VOC, lengkap dengan rantai-rantai besi asli yang digunakan untuk mengikat kaki para tahanan.

Museum Sejarah Jakarta alias Stadhuis dibangun tahun 1620 hingga 1707 atas inisiatif Gubernur Jenderal Coen dan awalnya digunakan sebagai bangunan balai kota semasa VOC berkuasa.

Di samping keberadaan Taman Fatahillah, di lingkungan Kota Tua terdapat juga objek wisata lain peninggalan khas Belanda berupa jembatan. Masyarakat didaerah sekitar jembatan menamakannya jembatan Kota Inten atau jembatan pasar ayam.Gaya arsitekturnyanya asli seperti gaya arsitektur jembatan-jembatan yang ada di Amsterdam, Belanda. Jembatan itu bisa diangkat ketika kapal-kapal melintas dibawahnya.Warnanya coklat kemerah-merahan dan terbuat dari kayu, berdiri kokoh di sepanjang sisi Jalan Kali Besar Barat dan Kali Besar Timur. Namun sayang, keberadaan Jembatan Kota Inten yang bernilai sejarah tinggi itu kini terlantar dan tidak terurus sama sekali.

Kawasan Kota Tua Jakarta hanyalah salah satu dari beberapa kawasan historis di Jakarta. Masih ada tempat lain seperti Glodok (Pecinan), kawasan sekitar Pasar Baru, Medan Merdeka, dan Menteng. Namun bila dilihat dari urutan sejarahnya, kawasan Kota Tua adalah cikal bakal perkembangan dan sejarah Kota Jakarta.

Memang, Jakarta kini telah berubah. Peribahasa yang mengatakan Tua-tua Keladi, Semakin Tua Semakin Jadi amat pantas di sandang Jakarta. Kota ini semakin cantik baik siang maupun di malam hari. Gedung-gedung pencakar langit dan sejumlah bangunan megah kini menjadi penghias kota di usianya yang kini mencapai 479 tahun. (Ismayanti)